Cerita Legenda Timnas: Dibayar Uang Saku, Susah Bertemu Presiden
Nasib pesepakbola Indonesia dari kompetisi Perserikatan dan Galatama sangat berbeda dibanding masa kini. Dibayar hanya dengan uang saku, susah bertemu Presiden RI.
Hal ini dikisahkan Rully Nere, Robby Darwis, dan Toyo Haryono yang hadir dalam diskusi Turun Minum PSSI Pers: Refleksi 93 Tahun PSSI di Jakarta, Senin (17/4/2023). Rully Nere dan Toyo Haryono banyak menghabiskan waktunya di Galatama, Robby Darwis di Perserikatan.
Galatama (1979-1994) adalah kompetisi semi-profesional yang diikuti oleh berbagai klub yang identik dengan korporasi atau pengusaha. Ada Semen Padang, Petrokimia Putra, Krama Yudha Tiga Berlian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sedangkan Perserikatan adalah kompetisi tradisional yang sudah berjalan sejak 1931-1994 dan diisi klub-klub lokal yang identik dengan pembiayaan pemerintah daerah.
Dikisahkan jebolan Perserikatan-Galatama tersebut, kondisi pesepakbola dulu tak seperti saat ini. Memang sepakbola sudah populer di Indonesia, tapi menggantungkan hidup dari sepakbola bukan hal yang bisa diandalkan.
"Fanatisme daerahnya luar biasa cukup fantastis. Saya sering juga liat tim Galatama ikut kompetisi yang cukup luar biasa. Pengalaman yang saya rasakan waktu itu dari perserikatan, pemain sudah matang, topnya di situ tidak ada pemain asing, lokal semua," kata Robby Darwis.
"Kalau saya sih, selama dapat dua emas SEA Games (1987 dan 1991) susah sekali ketemu presiden. Selama itu cuma sekali salaman. Ucapan-ucapan doang dulu. Sekali ketemu presiden (sewaktu) pelepasan SEA Games 1987. Jadi beda. Kalau sekarang kan ditonton pemerintah, antusias juga. Tapi tetap itu jadi motivasi, itu kebanggaan kita mewakili Merah putih," ujarnya menambahkan.
Kondisi yang lebih baik dialami Rully Nere. Maklum ia