Catat! Pakai Gas Air Mata di Stadion tuh Begini Bahayanya
Penggunaan gas air mata dinilai memang memicu situasi tak terkontrol, seperti yang terjadi pada Tragedi Kanjuruhan. Hal itu diungkap profesor asal Inggris.
Tragedi Kanjuruhan terjadi pada Sabtu (1/10/2022), usai pertandingan Arema FC vs Persebaya. Selepas pertandingan berakhir, ratusan suporter Arema turun ke stadion untuk memprotes kekalahan 2-3 timnya.
Aksi suporter itu kemudian ditanggapi kekerasan petugas yang menjaga di lapangan. Polisi dan tentara memukul mundur ratusan suporter, sampai akhirnya gas air mata dikeluarkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Gas air mata itu yang kemudian memaksa suporter membubarkan diri. Namun, berbondong-bondongnya suporter menyebabkan kerumunan di pintu keluar, karena sebagian ada yang terkunci.
Sampai akhirnya, banyak yang terinjak-injak dan kehabisan napas di dalam stadion, usai tak bisa keluar di tengah kepulan asap gas air mata.
Keith Still, Profesor Tamu Ilmu Massa Universitas Suffolk, mengomentari situasi kepanikan yang terjadi, dalam Tragedi Kanjuruhan. Ia menilai, gas air mata bisa disebut memicu situasi tak terkontrol tersebut.
"Stampede [lari berbondong-bondong karena panik] adalah kata yang tidak tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi dalam bencana tersebut [Tragedi Kanjuruhan]," katanya, dilansir South China Morning Post.
"Fight-or-flight syndrome adalah deskripsi yang lebih tepat tentang apa yang terjadi. Itu adalah ketika kerumunan bereaksi menjauh dari ancaman yang dirasakan atau nyata."
"Ini adalah reaksi yang sepenuhnya dapat diprediksi, terhadap penggunaan gas air mata di tempat itu," ungkapnya.
Penggunaan gas air mata sendiri disorot banyak pihak. FIFA juga punya aturan yang melarang penggunaan tersebut di stadion. Sementara Kepolisian sendiri